Jumat, 20 September 2013

9 Jenis kecerdasan manusia




1.Kecerdasan Linguistik

Kecerdasan dalam mengolah kata-kata secara efektif baik bicara ataupun menulis (jurnalis, penyair, pengacara)
Ciri-ciri :
  • Dapat berargumentasi, meyakinkan orang lain, menghibur atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata
  • Gemar membaca dan dapat mengartikan bahasa tulisan dengan jelas

2. Kecerdasan Matematis-Logis
Kecerdasan dalam hal angka dan logika (ilmuwan, akuntan, programmer)
Ciri-ciri :
  • Mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi
  • Berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis
  • Pandangan hidupnya bersifat rasional

3. Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan yang mencakup berpikir dalam gambar, serta mampu untuk menyerap, mengubah dan menciptakan kembali berbagai macam aspek visual (arsitek, fotografer, designer, pilot, insinyur)
Ciri-ciri :
  • Kepekaan tajam untuk detail visual, keseimbangan, warna, garis, bentuk dan ruang
  • Mudah memperkirakan jarak dan ruang
  • Membuat sketsa ide dengan jelas

4. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani
Kecerdasan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresiakan gagasan dan perasaan (atlet, pengrajin, montir, menjahit, merakit model)
Ciri-ciri :
  • Menikmati kegiatan fisik (olahraga)
  • Cekatan dan tidak bias tinggal diam
  • Berminat dengan segala sesuatu

5. Kecerdasan Musikal
Kecerdasan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk musik dan suara (konduktor, pencipta lagu, penyanyi dsb)
Ciri-ciri :
- Peka nada dan menyanyi lagu dengan tepat
- Dapat mengikuti irama
- Mendengar music dengan tingkat ketajaman lebih

6. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak dan temperamen orang lain (networker, negotiator, guru)
Ciri-ciri :
- Menghadapi orang lain dengan penuh perhatian, terbuka
- Menjalin kontak mata dengan baik
- Menunjukan empati pada orang lain
- Mendorong orang lain menyampaikan kisahnya

7. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan pengetahuan akan diri sendiri dan mampu bertidak secara adaptif berdasar pengenalan diri (konselor, teolog)
Ciri-ciri :
- Membedakan berbagai macam emosi
- Mudah mengakses perasaan sendiri
- Menggunakan pemahamannya untuk memperkaya dan membimbing hidupnya
- Mawas diri dan suka meditasi
- Lebih suka kerja sendiri

8. Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan memahami dan menikmati alam dan menggunakanya secara produktif dan mengembangkam pengetahuan akan alam
(petani, nelayan, pendaki, pemburu)
Ciri-ciri :
- Mencintai lingkungan
- Mampu mengenali sifat dan tingkah laku binatang
- Senang kegiatan di luar (alam)

9. Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia (filsuf, teolog,)
Ciri-ciri :
- Mempertanyakan hakekat segala sesuatu
- Mempertanyakan keberadaan peran diri sendiri di alam/ dunia.

Kamis, 12 September 2013

HATI-HATI DENGAN LOBSTER AIR TAWAR

Sdr. Riswanto, Bawen, Jawa Tengah, tertarik untuk membudidayakan lobster air tawar. Sebab kata temannya, satu kilogram isi 10 lobster, harganya Rp 250.000,- Pertanyaannya, benarkah komoditas ini menjanjikan, bagaimana memulai, dan ke mana menjualnya?
Yang selama ini dicari restoran dan hotel bintang, adalah lobster air laut, yang bobotnya bisa lebih dari 1 kg. per ekor. Ada empat lobster air laut komersial, yakni 1 udang jaka, atau udang batu (Brown SL, red SL, Spiny lobster, Panulirus penicillatus); 2 udang jarak (Grey-blue, spotted legs SL. Panulirus polyphagus); 3 udang bunga, atau raja udang, White spotted red/brown SL. Panulirus longicep); dan 4 udang barong, atau udang karang (Spiny lobsters, Panulirus versicolor, Latreille, 1804).
Harga lobster air laut (hidup), memang mencapai ratusan ribu rupiah per kilogram. Selama ini lobster air laut, masih berasal dari alam. Beberapa nelayan, sudah mulai menangkap anakan lobster, untuk dibesarkan di keramba. Sementara induknya, tetap dibiarkan, agar satwa ini tidak punah. Karena tingginya harga lobster air laut, maka ada orang yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat, dengan memopulerkan lobster air tawar.
Lobster air tawar adalah udang hias, untuk pajangan di akuarium. Sebab ukuran lobster ini maksimal hanya 1 ons, itupun setelah dipelihara sekitar 7 bulan sampai dengan 1 tahun. Sebab pertumbuhan lobster air tawar memang sangat lamban. Ada beberapa lobster air tawar, antara lain marron (Cherax tenuimanus); si penghancur (Cherax destructor); lobster merah (Procambarus clarkii); dan tasmania raksasa (Astacopsis gouldi).
Meskipun lobster air tawar adalah udang hias, ia tetap bisa dikonsumsi sebagaimana halnya udang biasa. Namun budidaya lobster air tawar untuk udang konsumsi, jelas tidak efisien, dibanding dengan udang air tawar, atau udang galah (giant river prawn, Macrobrachium resenbergii). Udang galah sudah bisa dipanen pada umur 5 - 6 bulan, dengan bobot 25 - 30 ekor per kg, dan harga hidup Rp 40.000,- per kg. Budidaya udang galah, lebih menguntungkan dan rasional dibanding lobster air tawar.
Sama halnya dengan cacing, dan jangkrik, yang pernah marak awal tahun 2000an, lobster air tawar pun diisukan bisa membuat orang kaya mendadak. Padahal lobster air tawar yang Rp 250.000,- per kilo, adalah harga jual para pemilik benih. Selain menjual benih, mereka ini juga membuat buku, minta diliput media massa, menyebar info di internet, membuat pelatihan, seminar, serta lain-lain kegiatan untuk meraih keuntungan sebesar mungkin.
Beberapa restoran dan warung kakilima memang sudah mulai ada yang menghadirkan menu lobster air tawar, tetapi perkembangannya hampir tidak ada. Kalau kita bertanya pasar riil ke pemilik benih, dan penyelenggara training lobster air tawar, maka jawabnya tidak pernah bisa tegas. Kalau bisnis ini memang sangat menjanjikan keuntungan, karena banyaknya permintaan, sementara pasokan kurang, mestinya para penampung bersedia membuat kontrak pembelian, dengan uang muka.
Yang terjadi selama ini, rayuan lebih banyak datang dari pemilik benih, penyedia pakan, dan peralatan, serta penyelenggara pelatihan. Tidak pernah ada penampung produk, yang bertanya-tanya, siapa punya lobster air tawar, saya akan membelinya, dan mari kita teken kontrak, ini uang mukanya. Kalau ini terjadi, silakan ramai-ramai membudidayakan komoditas ini.

MERAMU PAKAN UNTUK PEMBESARAN LELE

Sejak krisis ekonomi tahun 1998, kebutuhan ikan lele meningkat dengan cukup pesat. Sebab konsumen daging sapi banyak yang baralih ke daging ayam, sementara konsumen daging ayam banyak yang pindah ke ikan. Dan ikan yang paling banyak diminta konsumen adalah lele. Sebab dibanding dengan ikan mas, nila dan patin, maka harga lele termasuk paling rendah. Lebih-lebih dengan gurami. Harga per kg. ikan mas saat ini Rp 15.000,- ditingkat konsumen. Sementara hargalele hanya Rp 9.000,- dan gurami mencapai Rp 25.000,- per kg. Produksi ikan lele, sebagimana halnya ikan mas, sudah merupakan agroindustri. Pola spesifikasi hulu tengah hilir sudah berjalan cukup baik. Pada bagian hulu ada industri pakan dan pembenihan. Di bagian tengah pembesaran ikan konsumsi dan pemeliharaan calon induk, serta di bagian hilir hanyalah sebatas distribusi dan perdagangan. Sebab daging ikan lele tidak lazim diolah dan diawetkan. Konsumsi ikan lele hanyalah sebatas segar (hidup) untuk digoreng (termasuk pecel lele) atau dimasak basah (mangut).
Industri hulu pembenihan lele, dibagi menjadi tiga spesifikasi. Pertama produsen burayak, yakni anak ikan ukuran di bawah 1 cm. Pada bagian ini, peternak akan melakukan pemijahan induk secara buatan, menetaskan telur di akuarium, kemudian membesarkan anak ikan dalam bak-bak pembesaran sampai mencapai ukuran sekitar 1 cm. Burayak ini selanjutnya akan dibesarkan dalam bak-bak berukuran lebih besar sampai mencapai ukuran kebul, yakni benih ikan berukuran antara 1 sd. 3 cm. Selanjutnya kebul akan dibesarkan lagi dalam kolam atau bak yang berukuran lebih besar lagi, hingga mencapai ukuran antara 3 sd 5 cm. yang disebut sebagai putihan. Saat ini putihan lele banyak yang berukuran 7,5 sd. 10 cm. Hingga pembesaran lele konsumsi bisa dipersingkat antara 1 sd. 3 bulan saja. Yang dimaksud sebagai bak pembesaran, bukanlah bak permanen dari batu bata dan semen atau beton. Bak tersebut hanya berupa batu bata yang ditata membujur sebagai dinding setinggi 50 cm, hingga membentuk segi empat dengan ukuran sesuai volume benih yang akan dibesarkan. Kadang-kadang dinding bak tersebut hanya berupa papan yang diperkuat kaso. Sebagai dasar bak, dihamparkan pasir yang kemudian diratakan serta dipadatkan. Bak darurat itu lalu dilapis plastik.
Air yang digunakan hanyalah air sumur biasa, air dari kali atau sumber air lainnya. Peralatan yang sangat penting adalah pompa sedot yang dihubungkan dengan filter. Air dalam bak darurat itu harus bersirkulasi dengan bantuan pompa, masuk ke dalam filter untuk menyaring kotoran lalu dikembalikan ke dalam bak. Teknologi ini sudah biasa dipergunakan oleh penangkar benih ikan dalam menangani air akuarium. Juga digunakan dalam kolam-kolam taman di perumahan. Praktis, investasi bak demikian sangat murah. Nilai paling tinggi hanyalah pada plastik dan pompa. Satu petak bak ukuran 3 X 5 m. misalnya, hanya akan menghabiskan biaya  sekitar Rp 50.000,- apabila kita membangun minimal 5 petakan. Pompa berikut filternya sekitar Rp 250.000,- yang bisa digunakan untuk sirkulasi bagi 5 petak kolam tersebut. Hingga investasi tiap petaknya hanya sekitar Rp 100.000,- Komponen biaya paling tinggi dalam industri peternakan dan perikanan adalah pakan. Apabila peternak menggunakan pakan buatan dari toko, nilainya bisa mencapai 70% dari seluruh komponen biaya. Saat ini harga pakan buatan sudah sekitar Rp 2.500,- per kg. Karenanya, para peternak lele biasanya memilih menggunakan pakan ramuan sendiri hingga marjin yang diperoleh bisa lebih besar dibanding penggunaan pakan buatan pabrik.
Biasanya, para peternak akan meramu pakan yang terdiri dari dedak halus (bekatul) 20%, ampas tahu 20%, menir atau jagung giling 20%, dan ayam broiller mati yang dibeli borongan di peternakan ayam atau ikan rucah yang dibeli di TempatPelelangan Ikan (TPI) sebanyak 35%, tepung tapioka 5% dan vitamin C serta B Complex. Ayam broiller atau ikan tadi dibersihkan dan hanya diambil dagingnya. Tulang, jeroan serta kulit dibuang. Selanjutnya bahan-bahan itu digiling menggunakan gilingan daging manual. Hasilnya berupa adonan yang liat. Adonan dibentuk lempengan seperti pempek Palembang lalu dikukus sampai benar-benar masak. Tanda kemasakan adalah,apabila ditusuk, sudah tidak ada bagian yang berwarna keputih-putihan. Pakan ramuan sendiri inilah yang dijadikan menu sehari-hari lele tersebut. Baik yang masih berupa burayak, kebul, putihan maupun lele konsumsi. Bedanya, pada pakan burayak, komposisi protein hewaninya diperbesar menjadi 50% dengan ditambah kuning telur. Telur-telur ini pun merupakan telur afkir yang kondisinya masih bagus, yang dibeli di pengusaha penetasan telur ayam maupun itik. Dedak halus, ampas tahu dan menir atau jagungnya dikurangi hingga masing-masing tinggal 15%.
Pakan berupa "kue kukus" tersebut bisa tahan disimpan di kulkas sampai dengan 1 minggu. Hingga produksi pakan yang sangat merepotkan ini bisa dilakukan selang 1 minggu sekali, 3 hari sekali atau sesuai dengan kesempatan dan kebutuhan. Cara pemberian pakan cukup dengan ditaruh dalam tampah, nyiru atau nampan kayu dan dimasukkan ke dalam bak atau kolam. Tampah,  nyiru atau kotak kayu ini dibuat tiga susun. Tampah paling bawah berukuran paling besar, yang ditengah tanggung dan yang di atas paling kecil. Tiga tampah ini diikat kawat dengan jarak sekitar 15 cm. dan diberi gantungan untuk mengikatkannya di tiang pancang, hingga tampah paling atas hanya masuk ke dalam air sebatas 10 sd. 20 cm. Pakan hanya ditaruh pada tampah bagian atas. Tetapi karena lele itu akan makan secara berebutan, maka pakan akan berhamburan dan jatuh pada tampah kedua. Di sini pun pakan diperebutkan dan kembali berhamburan. Tetapi karena pakan di tampah kedua hanya merupakan ceceran dari tampah diatasnya, maka yang jatuh ke tampah ketiga pun volumenya terbatas.
Dengan cara tersebut, pakan yang jatuh dan masuk ke dalam kolam bisa diminimalkan.  Burayak, kebul, putihan atau lele di kolam pembesaran itu akan langsung berebutan setiapkali pakan disajikan. Porsi pemberiannya harus pas. Cara untuk mengukur kebutuhan pakan adalah dengan menaruh pakan sedikit demi sedikit. Kalau pakan yang ditaruh habis, berarti perlu ditaruh sedikit lagi. Demikian seterusnya sampai anak lele atau lele konsumsi di kolam pembesaran itu tidak mau makan lagi. Setelah lele kenyang, maka tempat pakan itu diangkat agar pakan yang tersisa tidak mencemari kolam. Pemberian pakan harus dilakukan sesering mungkin. Dalam sehari, pemberian pakan bisa berlangsung empat sampai lima kali. Keterlambatan pemberian pakan, juga pemberian pakan dengan frekuansi hanya dua sampai tiga kali, akan mengakibatkan sebagian lele mengalami kelambatan pertumbuhan, sementara sebagian lain akan tumbuh dengan sangat pesat. Akibatnya akan terjadi kanibalisme. Lele yang kontet menjadi mangsa lele yang pertumbuhannya sangat pesat. Individu lele yang sering melakukan kanibal, akan tumbuh lebih pesat lagi hingga potensial untuk memangsa teman-temannya lebih banyak lagi. 
Harga dedak halus, saat ini Rp 800,- per kg. (kering). Harga ampas tahu sekitar Rp 150,- (basah). Harga ayam mati Rp 1.000,- per ekor bobot 1,5 kg. kotor atau 0,75 kg.daging.  Menir atau jagung giling Rp 1.500,- per kg. Tepung tapioka Rp 2.000,- per kg. Vitamin-vitamin senilai Rp 50,- per kg. ramuan. Dengan komposisi dedak halus, ampas tahu dan menir 20%, ayam 35% dan tepung tapioka 5%, maka nilai pakan dengan bobot 10 kg adalah Rp 10.900,- atau per kg. basah Rp 1.140,- Biaya produksi (tenaga kerja + bahan bakar) sekitar Rp 200,- per kg. Hingga total nilai pakan Rp 1.340,- bobot basah atau bobot kering Rp 2 000,- Dengan asumsi harga pakan pabrik Rp 2.500,- per kg, maka harga pakan ramuan sendiri ini lebih murah Rp 500,- per kg. Harga lele di tingkat peternak, saat ini Rp 5.500,- dari harga tersebut, peternak mengambil marjin sekitar 20%, hingga harga pokoknya Rp 4.400,- Dari harga pokok tersebut, sekitar 70% atau Rp 3.080,- merupakan nilai pakan.  Harga ini menggunakan patokan perhitungan pakan pabrik dengan bobot 1,232 kg. Apabila menggunakan pakan ramuan sendiri dengan nilai Rp 2.000,-per kg, maka nilai pakan itu hanya Rp 2.464,- Berarti, dari tiap kg. ikan lele yang diproduksi menggunakan pakan ramuan sendiri, peternak memperloleh tambahan marjin Rp 616,- Dengan volume pembesaran lele 10 ton dalam jangka waktu 3 bulan, maka marjin tambahan yang bisa diperoleh peternak dari penggunaan pakan tambahan adalah Rp 6.160.000,-
Perhitungan ramuan pkan dengan konversinya pasti akan sangat bervariasi, tergantung lokasi peternakan dan kejelian peternak untuk memperolehbahan pakan yang berkualitas sama baik tetapi dengan harga yang jauh lebih murah. Kelebihan penggunaan pakan buatan sendiri adalah, peternak bisa mengatur komposisi protein hewani maupun nabatinya, sesuai dengan ketersediaan bahan yang ada. Peternak juga bisa mempertinggi prosentase protein hewaninya agar pertumbuhan lele bisa dipercepat, namun tanpa terlalu besar menambah beban biaya pakan akibat pembengkakan nilai protein hewani terebut. Ini semua memerlukan kejelian yang luarbiasa, hingga keong sawah atau darat, kepompong ulat sutera dan cacing tanah misalnya, akan mampu memperbesar marjin. Pemeliharaan cacing tanah, paling tinggi hanya boleh menghabiskan biaya produksi Rp 2.000 per kg. Ini dimungkinkan sebab komponen pakan cacing adalah limbah organik. Meskipun nilai gizi cacing tanah terlalu tinggi untuk dimanfaatkan bagi pembesaran lele. Cacing tanah lebih cocok untuk pakan pembesaran ikan yang nilai ekonomisnya juga lebih tinggi dari lele.

PAKAN ALAMI DALAM BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR

Budidaya ikan air tawar sekarang telah menjadi sebuah kegiatan agribisnis yang tak terpisahkan dengan industri pakan ikan. Hingga ikan mas, lele, nila (mujair), bawal air tawar, patin (pangasius), gurami dan terakhir yang sedang trend adalah udang galah; semuanya sangat tergantung pada pakan buatan industri besar. Pakan ikan air tawar tersebut sebenarnya sama dengan pakan untuk unggas, yang di kalangan peternak/petani ikan dikenal dengan nama pelet. Kisaran harga pelet, saat ini antara Rp 2.000,- sd. Rp 3.000,- per kg. Komponen biaya pakan dalam budidaya ikan air tawar mencapai 70% dari seluruh komponen biaya. Hingga petani ikan yang ingin meningkatkan keuntungannya, pertama-tama harus melakukan penghematan pada komponen biaya pakan.
Cara penghematan pakan ikan, selama ini dilakukan oleh petani dengan berbagai cara. Gurami diberi pakan hijauan berupa daun keladi (sénţé). Sampai sekarang, pemilik empang di pedesan Jawa Barat dan Jawa Tengah, masih memanfaatkan tinja sebagai pakan tambahan bagi ikan mas piaraan mereka. Meskipun ikan dari empang demikian dengan WC umum demikian, volumenya sangat kecil hingga tidak pernah sempat masuk pasar. Para peternak lele dan patin, biasa meramu pakan sendiri dari dedak halus, ampas tahu, tepung tapioka, tepung jagung dan daging ayam mati dari peternakan. Bahan tersebut dicampur, diberi air, digiling, ditambah vitamin dan dikukus. Bahan-bahan lain seperti pupa (kepompong) ulat sutera, cacing, siput, bekicot dll. juga mereka manfaatkan untuk bahan pakan tambahan.
Para petani tambak bandeng, selama ini sudah terbiasa memanfaatkan plankton yang mereka sebut "klékap" sebagai bahan pakan alami bagi bandeng mereka. Proses penumbuhan plankton harus dilakukan dengan pengeringan kolam, empang atau tambak. Pengeringan biasanya dilakukan sekalian dengan pengerukan lumpur yang digunakan untuk memperkuat dan marapikan tebing serta pematang. Proses pengeringan ini bisa berlangsung antara 1 minggu sd. 1 bulan, tergantung intensitas sinar matahari. Fungsi pengeringan selain untuk proses penumbuhan plankton, juga agar hama dan bibit penyakit ikan mati. Terutama penyakit akibat bakteri dan virus. Sebab air yang tergenang terlalu lama, potensial untuk menumbuhkan plankton, sekaligus juga virus dan bakteri pengganggu ikan. Para petani tambak biasa menggunakan tembakau dan biji teh untuk membunuh bakteri, virus dan hama lain pengganggu tambak.
Selain pengerukan lumpur, kalau perlu juga dilakukan pencangkulan dan pembajakan dasar kolam. Setelah kolam benar-benar kering dan rapi, ditaburkan pupuk kandang dan urea. Dosisnya seperti kalau menanam padi. Misalnya pupuk kandangnya 5 ton per hektar dengan urea 1 sd. 2 kuintal. Untuk lebih meningkatkan kesuburan air kolam, bisa ditambahkan pula zat perangsang tumbuh (ZPT) seperti Atonik atau Dekamon. Setelah itu tambak digenangi air. Kalau tambak air payau, maka yang digenangkan air tawar (dari sungai) dicampur dengan air laut. Kalau kita akan memelihara ikan air tawar, maka air yang digenangankan hanya air tawar. Selanjutnya kolam atau tambak dibiarkan terkena sinar matahari sampai menjadi hijau. Proses ini bisa berlangsung dari satu minggu sampai satu bulan, tergantung dari intensitas sinar matahari dan tingkat kesuburan air.  
Kolam yang sudah hijau ini telah dipenuhi dengan ganggang (algae) yang oleh masyarakat luas sering disebut salah (salah kaprah) sebagai "lumut" . Ada banyak ragam algae, mulai dari ganggang biru (Cyanophyta), ganggang hijau (Chlorophyta), ganggang cokelat (Dinophyceae), ganggang kuning (Chrysophyceae), ganggang merah (Rhodophyceae) dan ganggang kersik (Diatomeae). Hingga sebenarnya, warna air yang subur, akan sangat tergantung dari jenis algae yang tumbuh di sana. Namun pada umumnya yang paling banyak tumbuh di kolam ikan adalah ganggang hijau. Selain ditumbuhi algae, kolam yang subur juga akan dihuni cacing, jentik nyamuk, larva capung, kumbang air, kepik, kutu air dll. Kumpulan algae dan macam-macam hewan renik (mikro) inilah yang di kalangan peternak ikan disebut sebagai plankton.
Kesuburan kolam demikian, akan tetap terjaga apabila aliran air tidak cukup deras. Apabila aliran air cukup deras, maka algae dan macam-macam hewan renik itu tidak akan mampu tumbuh dengan baik hingga membentuk koloni. Misalnya di kolam air deras. Bahkan pemeliharaan ikan di karamba, baik karamba sungai, danau, waduk maupun laut, juga sulit untuk memanfaatkan pakan alami berupa algae dan hewan renik. Sebab air dalam karamba merupakan satu kesatuan dengan seluruh volume air dalam kali, danau, waduk atau laut. Pemeliharaan ikan dalam karamba di danau Toba yang sangat luas itu pun, telah mengakibatkan ekosistem perairan alam menjadi rusak. Sebab jumlah karamba dan populasi ikan tidak pernah dihitung dengan baik, hingga memenuhi syarat maksimal daya dukung danau tersebut. Akibat banyaknya karamba di danau Toba, kotoran ikan serta pakan yang tidak termakan mengendap di dasar perairan, membusuk dan mencemari air danau.
Rekayasa air untuk memproduksi pakan alami dalam budidaya ikan, hanya bisa dilakukan pada kolam, empang atau tambak yang debit airnya bisa diatur. Debit yang konstan ini akan mengakibatkan pertumbuhan plankton menjadi optimal. Namun juga ada bahayanya apabila debit airnya sangat kecil. Pada siang hari algae, terutama ganggang hijau, akan memproduksi oksegen yang cukup banyak bagi kebutuhan seluruh ikan atau udang dalam tambak tersebut.  Tetapi pada malam hari fotosintesis terhenti. Padahal algae itu pada malam hari juga memerlukan oksigen meskipun dalam volume yang sangat kecil. Akibatnya pada malam hari kolam, empang atau tambak tersebut akan kekurangan oksigen. Lebih-lebih kalau padat penebarannya tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, para petambak dan petani ikan memanfaatkan kuncir air untuk meningkatkan ketersediaan oksigen. Selain dengan kincir air, untuk mengatasi kekurangan oksigen ini bisa dilakukan pula penambahan debit air apabila sumbernya memungkinkan. Apabila tidak mungkin, bisa dilakukan rotasi dengan menggunakan pompa serta filter.
Meskipun kita telah berhasil meningkatkan kesuburan air kolam secara optimal, namun pemeliharaan ikan dengan memanfaatkan pakan alami 100%, juga tidak akan ekonomis. Sama tidak ekonomisnya dengan apabila kita hanya mengandalkan pakan buatan 100%. Sebab apabila yang dipelihara ikan carnivora, seperti lele, gabus, patin dll, maka mereka akan kanibal. Hingga populasi ikan akan meyusut dengan sangat drastis. Contohnya adalah pemeliharaan belut di dalam bak atau drum yang diberi lumpur, batang pisang, pupuk kandang dll. hingga tingkat kesuburannya sangat tinggi. Ke dalam bak tersebut kemudian kita lepaskan 100 ekor anak belut, tanpa kita beri tambahan pakan apa pun. Setelah tiga bulan bak atau drum itu dibongkar, maka yang tersisa hanya sepasang belut jantan dan betina. Belut lain sudah saling makan hingga yang tinggal hanya dua ekor itu saja. Lain halnya kalau ke dalam bak atau drum belut itu tiap tiga hari sekali kita benamkan bangkai ayam, bebek atau telur-telur yang tidak menetas yang telah direbus terlebih dahulu. Dalam jangka waktu hanya dua bulan, 100 ekor anak belut itu sudah akan berubah menjadi belut dengan ukuran satu jari orang dewasa dan gemuk-gemuk.
Ke dalam kolam yang paling subur sekalipun, sebaiknya tetap perlu ditambahkan  pakan alami lain. Bagi ikan-ikan karnivora, perlu diberikan cacing, bekicot, bangkai ayam dll dalam volume yang sesuai dengan populasi ikan yang ditebar. Kalau yang dipelihara ikan-ikan herbivora, misalnya gurami, maka perlu ditambahkan daun-daunan dalam jumlah cukup. Pakan alami ini selain mampu meningkatkan keuntungan karena bisa mengurangi kebutuhan pakan pabrik, sekaligus juga akan meningkatkan kualitas daging ikan. Gurami yang hanya diberi pelet misalnya, kualitas dagingnya akan lembek dan kurang padat. Dengan dipelihara di kolam yang subur, dengan pakan tambahan berupa daun keladi, maka kualitas dagingnya akan makin padat. Kualitas daging ikan ini akan berpengaruh pada harga jual produk akhirnya berupa ikan konsumsi.
Pada pemeliharaan udang galah misalnya, tingkat kesuburan kolam akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan konversi pakan. Namun khusus dalam pemeliharaan udang galah, terutama dengan tingkat penebaran tinggi, penggunaan tali, misalnya tali rafia yang direntangkan di seluruh kolam, akan meningkatkan produksi. Sebab kebiasaan udang agak berbeda dengan ikan. Udang tidak biasa berenang melainkan merayap. Di alam, udang akan merayap pada tumbuhan air, akar tanaman dll. Tanpa adanya tanaman air, udang hanya akan merayap pada dasar kolam. Aktivitas udang dengan populasi padat di dasar kolam itu, akan mengakibatkan tingginya tingkat kanibalisme. Dengan adanya tali-tali yang terentang di kolam, maka tingkat kanibalisme bisa diturunkan. Dengan kolam yang kesuburannya optimal, maka hewan renik dan algae akan ikut mempercepat pertumbuhan udang. Selain pakan buatannya bisa dihemat, kualitas daging udangnya juga akan lebih baik.
Pada ikan-ikan karnovora, misalnya belut, pencegahan kanibalisme bisa dilakukan dengan menaruh buluh bambu atau potongan pipa PVC (pipa pralon) di sepanjang pinggir kolam. Ikan-ikan karnovora seperti belut, sidat, lele dan gabus akan senang bersembunyi di buluh bambu atau potongan pralon tersebut, hingga tingkat kanibalismenya akan turun. Kalau suplai cincangan cacing. bekicot atau bahan hewani lainnya cukup, maka kolam yang subur tersebut akan mampu mempercepat pertumbuhan ikan karnivora mencapai optimal. Kecuali lele dan patin, ikan karnivora seperti gabus, betutu, sidat dan belut agak sulit untuk mengkonsumsi pelet. Karenanya, kolam yang subur dengan suplai pakan tambahan berupa limbah pemotongan hewan menjadi mutlak diperlukan.

BUDIDAYA AYAM PETELUR SKALA RUMAHTANGGA

Meskipun budidaya ayam ras petelur sudah berkembang sejak akhir tahun 1960an, namun hingga kini penyebarannya masih belum mampu menjangkau kawasan terpencil. Hingga tidak mengherankan di beberapa kabupaten di Kalimantan, Maluku dan Papua, harga satu butir telur ayam ras mentah, bisa mencapai Rp 1.000,- sd. Rp 1.500,- per butir. Berarti per kg. antara Rp 16.000,- sd. Rp 24.000,- Di kota Nunukan, Kalimantan Timur, kebutuhan telur ayam ras malahan dipasok dari Tawao, Sabah, Malaysia. Sebab mendatangkan telur dari Tarakan, biaya transportasinya (2 jam speed boat) justru lebih tinggi dibanding dengan membelinya di Tawao (0,5 jam speed boat atau 1 jam long boat).
Di kota Nunukan, budidaya ayam ras petelur skala rumahtangga, juga masih kalah efisien dibanding dengan membeli telur dari Tawao. Lain halnya di kep. Kei (Maluku Tenggara) beberapa kabupaten di Papua dan juga Kalimantan. Kecuali di Kalsel. Sebab di provinsi ini, pangsa pasar telur didominasi oleh itik alabio dari Amuntai. Peternakan ayam ras petelur di Kalsel memang berkembang cukup baik, namun skalanya sudah sangat besar. Karenanya dari segi efisiensi tetap bisa bersaing dengan telur itik alabio hasil peternakan rakyat yang efisiensinya juga sangat tinggi. Satu ekor itik alabio, dalam waktu satu tahun mampu bertelur sampai 250 butir (ayam ras rata-rata 270 butir).
Karenanya, sebelum memulai usaha agroindustri telur ayam ras, terlebih dahulu harus dihitung kebutuhan pasar. Yang dimaksud sebagi pasar dalam hal ini bisa berupa konsumen langsung, pedagang pengumpul, pedagang pengecer di pasar/warung. Yang disebut sebagai konsumen langsung pun terdiri dari dua macam. Pertama konsumen rumahtangga, kedua konsumen khusus berupa asrama, rumahsakit, perusahaan roti/kue, hotel dan restoran. Konsumen rumahtangga sebenarnya tidak pernah membeli telur secara langsung ke produsen, melainkan ke warung setempat. Kecuali di lingkungan kecil yang masih tertutup. Misalnya di kompleks transmigran.
Kebutuhan riil pasar yang telah dihitung ini, akan menentukan populasi ayam yang akan dipelihara. Misalnya, perkiraan kebutuhan pasar rata-rata 50 kg. telur per hari atau 18,25 ton per tahun. Bobot telur ini harus dikonversikan menjadi butir (16 butir per kg), hingga kebutuhan pasar per tahun mencapai 18.250 kg. x 16 =  292.000 butir. Dengan kemampuan bertelur rata-rata 270 butir per tahun, maka untuk memenuhi kebutuhan pasar 50 kg. per hari, harus dipelihara 292.000 : 270 =  1.081, 481 atau dibulatkan menjadi 1.200 ekor. Pembulatan ke atas ini untuk mengantisipasi mortalitas (tingkat kematian ayam).
Kalau harga jual telur di tingkat konsumen Rp 8.000,- per kg. maka harga per butirnya Rp 500,- Harga pokok telur berikut keuntungan peternak 70% dari harga di tingkat konsumen atau Rp Rp 350,- per butir. Dari nilai tersebut 70% atau Rp 245,- merupakan biaya pakan. Sisanya yang Rp 105,- merupakan penyusutan induk (Rp 50,-) kandang (Rp 15,-) biaya tenaga kerja Rp 20,- operasional Rp 15,- dan keuntungan peternak Rp 15,- Harga pokok Rp 350,- per butir, setelah dikurangi keuntungan Rp 15,- menjadi Rp 335,- merupakan biaya yang harus disediakan oleh peternak. Hingga untuk memproduksi 292.000 butir telur per tahun, diperlukan biaya 292.000 x Rp 335,- = Rp 97.820.000,-
Namun kebutuhan modal secara riil tidak akan sebesar itu. Sebab sejak awal bulan IV, ayam sudah mulai bertelur dan hasilnya bisa dijual. Hingga modal yang harus dikeluarkan hanyalah biaya investasi kandang, induk ayam, pakan ayam sebelum berproduksi, tenaga kerja dan biaya operasional dengan nilai Rp 90,- x 292.000,- = Rp 26.280.000,- atau dibulatkan menjadi Rp 30.000.000,- sd. Rp 35.000.000,- Pembulatan ke atas ini diperlukan untuk menjaga likuiditas usaha. Sebab ketika telur dibawa ke pasar atau konsumen, tidak akan segara menghasilkan uang cash. Bisa saja pembayaran berupa cek atau giro mundur. Kebiasaan pasar swalayan misalnya, pembayaran baru bisa dicairkan paling cepat dalam jangka waktu 21 hari sejak memasukkan barang.
Dengan modal antara Rp 30.000.000,- sd. Rp 35.000.000,- mulai bulan IV akan diperoleh omset harian Rp 350,- (harga di tingkat peternak) x 800 (butir telur = 50 kg) = Rp 280.000,- Dari omset tersebut, marjin yang diperoleh peternak adalah Rp 15 x 800 = Rp 12.000,- per hari atau Rp 360.000,- per bulan. Dengan populasi ayam yang hanya 1.200 ekor, maka pemeliharaannya bisa dilakukan oleh tenaga keluarga sendiri sebagai sambilan. Hingga dari upah tenaga kerja Rp 20,- per butir, keluarga tersebut masih bisa memperoleh pendapatan Rp 20,- x 800 = Rp 16.000,- per hari atau Rp 480.000,- per bulan. Total dengan keuntungan beternak, penghasilan keluarga tadi akan mencapai Rp 480.000,- + Rp 360.000,- = Rp 840.000,- per bulan.
Dengan perhitungan tersebut, maka minimal kebutuhan pasar yang bisa memberikan peluang usaha budidaya ayam petelur adalah 50 kg. per hari. Kurang dari angka itu akan menjadi tidak efisien. Lebih dari jumlah tersebut, diperlukan tambahan tenaga kerja untuk pengelolaan. Perhitungan ini menggunakan patokan harga telur Rp 8.000,- per kg. di tingkat konsumen. Apabila harga telur mencapai Rp 10.000,- sd. Rp 25.000,- per kg, maka prosentase keuntungan peternak akan tetap sama. Sebab perbedaan nilai nominal harga telur ini juga juga akan berdampak sama terhadap biaya produksi dan pengeluaran harian di kawasan tersebut yang juga cukup tinggi.
Tingkat pendapatan peternak sebenarnya masih bisa lebih ditingkatkan lagi, apabila komponen biaya pakan bisa ditekan lebih rendah. Nilai pakan Rp 245,- dari tiap butir telur, sebenarnya merupakan nilai pakan ayam termasuk pada saat tidak bertelur. Hingga sebenarnya nilai riil pakan per hari adalah 270 : 365 X Rp 245,-  = Rp 181,23. Nilai komponen biaya pakan itu masih mungkin ditekan sampai ke tingkat Rp 160,- per hari (0,1 kg. atau Rp 1.600,- per kg). Caranya dengan membeli tepung ikan, tepung tulang, tepung grit, jagung giling, tepung casava dan bungkil kemudian mencampurnya. Dengan cara itu, peternak mampu memperoleh tambahan marjin Rp 21, 23 x 365 : 270 = Rp 28,69 untuk tiap butir telur yang diproduksinya, atau per hari Rp 28,69 x 800 = Rp 22.952,- atau Rp 688.560,- per bulan.
Rata-rata keluarga Indonesia dengan 5 jiwa (2 orangtua 3 anak), akan mengkonsumsi telur 1 kg. selama 5 hari, atau per hari hanya 0,2 kg. Hingga kawasan dengan kebutuhan telur 50 kg. per hari, haruslah berpopulasi minimal 250 kk. Kota-kota kabupaten di kawasan terpencil di luar Jawa, bisa berpopulasi di atas 1.000 kk. Hingga di kota kabupaten dengan populasi 1.000 kk. tersebut berpeluang untuk membuka usaha peternakan ayam petelur bagi 4 keluarga @ 1.200 ekor atau 2 keluarga dengan populasi ayam 2.400 ekor. Semakin besar populasi suatu kota kabupaten, maka semakin besar pula peluang untuk membudidayakan ayam petelur.
Selain menghasilkan telur, usaha budidaya ayam petelur juga masih menghasilkan ayam afkir. Rata-rata ayam petelur harus diafkir pada minggu ke 55 sd. 65 sejak mulai berproduksi. Hingga masa produksi ayam ras petelur hanya sekitar 1 tahun 20 hari sd. 1 tahun 3 bulan. Ayam petelur afkir bisa dijual ke pedagang ayam pedaging atau ke pedagang sate ayam. Kebanyakan ayam petelur afkir banyak diserap oleh tukang sate ayam. Harga ayam afkir ini bervariasi antara Rp 10.000,- sd. Rp 15.000,- per ekor hidup. Tinggi rendahnya harga ayam afkir ini sangat ditentukan oleh pasokan ayam pedaging. Kalau pasokan ayam pedaging sedang kurang, padahal kebutuhan tetap, maka harga daging ayam termasuk ayam petelur afkir akan tinggi. Sebaliknya kalau pasokan ayam pedaging sedang melimpah sementara kebutuhan tetap, maka harga ayam petelur afkir juga akan ikut jatuh.
Ayam ras petelur, terdiri dari jenis berbulu putih dan cokelat. Ayam petelur jenis berbulu putih antara lain Hubab leghorn, Hisex white dan Ross white. Jenis berbulu cokelat antara lain Hubbarb golden comet, Hisex brown dan Ross brown. Di Indonesia, jenis berbulu cokelat lebih populer dibanding dengan jenis berbulu putih. Benih ayam ras petelur dibeli dalam bentuk DOC (Day Old Chick = anak ayam umur sehari). DOC ini harus dipelihara dalam kandang koloni berlantai litter (sekam padi) dan harus diberi pemanas. Ada banyak alat pemanas kandang ayam, antara lain berupa lampu listrik, lampu minyak, kompor minyak dan kompor berbahan bakar briket batubara.
Setelah anak ayam tumbuh menjadi ayam dara (umur 2,5 sd. 3 bulan), mereka harus dipindahkan dari kandang koloni ke kandang baterai (kandang individual = kandang cage). Kalau selama dalam kandang koloni ayam diberi pakan grower (untuk pertumbuhan), maka setelah berada di kandang baterai pakannya berupa pakan ayam petelur (layer). Umumnya kandang baterai untuk ayam petelur terbuat dari bambu dan logam. Kandang bambu lebih cocok untuk usaha peternakan ayam petelur skala rumahtangga, sementara kandang dari logam cocok untuk usaha peternakan skala besar. Kandang bambu investasinya sangat rendah, namun penyusutannya juga cepat. Sementara kandang logam biaya investasinya tinggi namun penyusutannya juga lama. Hingga sebenarnya, kandang logam jatuhnya lebih murah dibanding kandang dari bambu.
Untuk memulai beternak ayam petelur di lokasi yang terpencil, harus diawali dengan magang (bekerja sambil belajar) pada peternak yang telah berpengalaman. Sebenarnya pemagangan ini bisa dilakukan oleh pemerintah daerah, pengusaha pertambangan, HPH dll, termasuk LSM dan lembaga keagamaan. Caranya, dengan mengirim kader-kader yang diharapkan akan mampu mengembangkan ternak ayam di kawasan tersebut, ke lokasi yang sudah ada peternakan ayamnya. Setelah selesai magang, mereka perlu dicarikan modal untuk memulai usahanya. Dengan cara demikian, usaha peternakan ayam petelur untuk rumahtangga akan mampu berkembang di kawasan yang terpencil.

TEKNOLOGI BROILER UNTUK AYAM KAMPUNG



Sebenarnya, yang lebih dulu diterapkan dalam budidaya ayam kampung justru teknologi layer (ayam petelur). Induk ayam kampung diisolasi dalam kandang baterai (satu petak kandang pas untuk satu ekor ayam. Diberi pakan layer, diberi egg stimulant dan telurnya bisa dijual sebagai telur ayam kampung. Namun tukang jamu, baik yang di kios maupun jamu gendong keliling, akan tahu bahwa telur ayam kampung tersebut merupakan hasil budidaya ayam ras petelur. Harga telur ayam kampung yang dipelihara dengan cara layer ini, lebih mahal dibanding telur ayam ras, namun lebih murah dibanding telur ayam kampung yang benar-benar hidup liar di kampung-kampung.
Teknologi pemeliharaan ayam ras inilah yang kemudian juga dicoba untuk ayam kampung pedaging. Mulai dari breeding farmnya sampai ke pembesaran DOCnya (Day Old Chick = anak ayam umur sehari), semua menggunakan teknologi broiler. Namun yang dipelihara adalah ayam kampung. Breeding farmnya berupa kandang ren dengan enam sd. delapan induk betina (babon) dan satu induk jantan (jago). Pakan yang diberikan 100% pakan layer. Namun ke dalam minumannya tidak boleh ditambahkan egg stimulant. Meskipun produktivitas telur akan meningkat, namun kualitas telurnya akan menurun. DOC yang dihasilkan akan cacat. Sulit untuk keluar dari dalam telur, kakinya pengkor dll. cacat fisik.
Ras ayam kampung yang paling ideal untuk dipelihara adalah kedu. Baik kedu hitam maupun kedu putih. Sebagai pedaging, kedu hitam lebih menarik bagi konsumen. Selain kedu, kita juga bisa menyeleksi ras-ras unggul lokal. Menurut pengalaman para peternak, induk betina warna lurik cokelat kehitaman atau keabu-abuan, kualitasnya paling baik sebagai induk betina. Seleksi induk ini mutlak diperlukan sebab faktor ini akan sangat menentukan tingkat keberhasilan agribisnis ayam kampung selanjutnya. Sebagai pedoman, produktivitas telur ayam kampung yang dipelihara dengan teknologi broiller antara 15 sd. 35%. Artinya, dengan populasi induk betina 100 ekor, tiap harinya harus dihasilkan telur antara 15 sd. 35 butir. Lebih dari 35 butir per hari ada kemungkinan kualitas telur tatas akan menurun. Kurang dari 15 butir kegiatan akan merugi.
Induk betina 100 ekor, memerlukan induk jantan sebanyak 15 ekor. Dengan rasio jantan betina 1: 6 sd. 1 : 8. Hingga populasi satu unit pemeliharaan broiller kampung sebanyak 115 ekor. Dengan harga satu ekor ayam bibit Rp 20.000,- per ekor, maka investasi untuk satu unit peternakan tersebut Rp 2.300.000,-   Kandang yang diperlukan 16 petak berhadap-hadapan (8 - 8). Ukuran tiap unit kandang 4 X 9 dengan bagian beratap 4  X 4 dan 4 X 5 terbuka. Di bagian tengahnya dibuat jalur jalan bagi petugas kandang selebar 2 m. Hingga total luas kandang = 32 X 20 m = 640 m². Bagian yang beratap dan tertutup (untuk tidur dan bertelur) 256 m², bagian terbuka (diberi pagar kawat atau bambu) 320 m² dan jalur jalan di tengah 64 m.² Pagar bambu atau kawat harus diberi seng, fiber atau gedek setinggi 1 m. agar jago maupun babon antar unit kandang tidak bertarung.
Selain unit kandang induk yang juga diperlukan adalah unit penetasan, unit indukan, unit pembesaran anak dan unit karantina. Total bangunan kandang, gudang  dan rumah penjaga yang diperlukan paling sedikit seluas 500 m². Hingga total luas lahan yang diperlukan sekitar 1.500 m². Selain kandang, fasilitas pendukungnya adalah sumur atau sumber air lainnya, sambungan listrik 2.200 watt, jalur jalan minimal makadam yang bisa dimasuki pickup. Lokasi tidak berdekatan dengan perumahan hingga aroma kotoran tidak mengganggu. Untuk merancang unit peternakan ayam kampung dengan sistem broiler ini, memang diperlukan sebuah proyek proposal berdasarkan kondisi riil di lokasi. Namun perkiraan investasi sewa lahan, membangun kandang, pasang listrik, memantek sumur, membeli mesin tetas, induk ayam dan pakan minimal untuk 3 bulan, sekitar Rp 30.000.000,-      
Satu unit kandang breeder mampu nenampung antara 6 sd. 8 ekor babon dengan satu jago. Satu unit kandang demikian akan mampu memproduksi telur tetas antara 300 sd. 700 butir per 21 hari (satu periode penetasan). Yang layak tetas hanya 80% dari jumlah tersebut. Hingga untuk tiap unit kandang, peternak harus menyediakan mesin tetas dengan kapasitas 200 butir telur sebanyak 4 unit. Secara bergiliran mesin tetas ini akan mampu menampung telur yang dihasilkan. Daya tetas normal idealnya 80% hingga DOC yang dihasilkan per bulan antara 280 sd. 650 ekor. Dengan mortalitas maksimal 5%, maka produksi ayam potong umur 70 hari sebanyak 266 sd. 617 ekor. Target yang harus dipatok adalah antara 250 sd. 600 ekor atau angka tengahnya (terget minimal) 425 ekor ayam kampung potong umur 70 hari per bulan.
Dengan rotasi rutin ayam keluar umur 70 hari (2 bulan 10 hari), maka populasi anak ayam yang ada di peternakan sekitar 1.000 ekor. Porsi pakannya rata-rata 40 gram per hari.  Sementara induknya rata-rata 75 gram per hari. Dengan harga pakan rata-rata Rp 2.250,- per kg. maka kebutuhan pakan per bulan sekitar Rp 2.700.000,- Dengan harga anak ayam potong umur 70 hari @ ekor Rp 9.000,- maka pemasukan per bulan sesuai dengan target minimal adalah Rp 3.825.000,- Kalau pemasukan hanya mencapai target minimal maka marjin yang diperoleh baru bisa menutup biaya penyusutan kandang, alat, gaji karyawan, listrik dll. Sebab selisih antara biaya pakan dengan pendapatan hanyalah Rp 1.125.000,- Keuntungan akan dicapai apabila produksi ayam potong bisa mendekati angka 500 ekor per bulan.
Dalam usaha peternakan ini, ayam induk tidak perlu disusutkan. Sebab setelah produktivitasnya menurun, ayam induk ini bisa segera diafkir dengan tingkat harga lebih tinggi dari rata-rata harga ayam kampung pada umumnya. Hasil yang belum diperhitungkan adalah telur afkir (yang tidak layak tetas) dan kotoran ayam. Pengelolaan peternakan ini cukup dilakukan oleh dua tenaga kerja yang diberi upah bulanan Rp 300.000,- per orang ditambah bonus sesuai target yang dicapai. Pekerjaan rutin yang harus dilakukan mulai dari memberi makan induk dan anak, mengambil telur, mengontrol mesin tetas, mengontrol indukan untuk membesarkan DOC, dan menggemukkan anak ayam sampai siap jual.
Pemberian pakan dan minum dilakukan sehari dua kali, pagi dan sore hari. Sambil memberi makan ayam, dilakukan pengambilan telur. Telur langsung diseleksi. Seleksi pertama berdasarkan penampakan kulit telur, bentuk dan ukuran. Telur yang terlalu kecil atau terlalu besar serta yang kulitnya tidak sempurna harus diafkir. Selanjutnya dilakukan peneropongan dengan lampu. Telur yang tidak fertil juga harus diafkir. Hingga yang disimpan hanyalah telur dengan ukuran, bentuk dan kulit standar serta fertil. Telur ini dikumpulkan dalam wadah, ditaruh di tempat teduh serta aman, dan menunggu sampai satu minggu untuk dimasukkan ke dalam mesin tetas.
Dengan empat mesin tetas kapasitas 200 butir telur, maka pemasukan telur bisa rutin dilakukan seminggu sekali. Telur yang dimasukkan pada minggu I di mesin tetas nomor 1, akan menetas pada akhir minggu III atau awal minggu IV. Pada waktu itulah dimasukkan telur periode IV di mesin tetas nomor 4. Maksudnya agar mesin tetas nomor 1 sempat dibersihkan dan diistirahatkan. Pada akhir minggu IV, telur periode II dalam mesin tetas nomor 2 siap menetas. Pada waktu itulah telur periode V dimasukkan ke mesin tetas nomor 1 yang telah dibersihkan dan diistirahatkan. Demikian seterusnya hingga seluruh telur yang dihasilkan dari 100 ekor induk akan siap untuk ditetaskan. Kalau produksi telur normal, maka dalam satu minggu akan terkumpul minimal 100 butir dan maksimal 200 butir.
DOC yang baru menetas, harus segera ditaruh dalam indukan. Indukan yang paling hemat berupa bangunan ukuran 5 X 8 m. yang masif berdinding tembok batako atau papan kayu, dengan lantai diberi litter sekam dan berplafon. Ruangan ini disekat-sekat dengan triplek setinggi 0,5 m. untuk memisahkan DOC sesuai dengan umurnya. Namun bisa juga dibiarkan berupa los. Pemanas yang digunakan bisa berupa lampu minyak pada peternakan ayam broiller, namun saat ini banyak peternak yang tertarik untuk menggunakan pemanas kompor berbahan bakar batubara. Biaya bahan bakar batubara jauh lebih murah dibanding dengan pemanas dari minyak tanah. Pemanas dari listrik jarang sekali digunakan untuk indukan. Pemanas listrik berupa kawat nikelin hanya digunakan untuk pemanas mesin tetas.
Pakan dan air minum di ruang indukan, ditaruh dalam wadah pakan broiller. Pakan dan air minum harus tersedia selama 24 jam. Hingga sebelum habis harus ditaruh lagi. Jenis pakannya pakan starter yang kandungan proteinnya sangat tinggi. DOC hanya berada dalam ruang indukan selama dua sampai dengan tiga minggu. Selanjutnya mereka dipindah ke kandang pembesaran berupa kandang ren. Mereka yang tampak lemah dan belum siap untuk dipindah ke kandang pembesaran, tetap dibiarkan dalam ruang indukan. Pakan di kandang pembesaran berupa pakan broiller. Pada umur dua bulan, ayam mulai diseleksi untuk dijual. Pada umur 70 hari pun, tidak semua ayam dijual. Mereka yang sudah mencapai bobot 5 ons lah yang siap untuk dijual.
Harga ayam kampung yang dipelihara dengan sistem broiller, lebih murah dibanding dengan ayam kampung asli yang hidup liar di pedesaan, atau yang dikandangkan tetapi tetap diberi pakan jagung, gabah dan pakan alami lainnya. Para pedagang ayam akan segera tahu, apakah ayam kampung umur 70 hari itu diberi pakan jagung dan gabah, atau diberi konsentrat. Namun harga ayam kampung broiller ini tetap lebih mahal dibanding dengan ayam broiller dengan bobot sama. Salah satu keuntungan pemeliharaan ayam pedaging kampung dengan menggunakan sistem broiller adalah, peternak bisa memproduksi DOC sendiri. Hingga tingkat ketergantungan peternak pada agroindustri modern menjadi terkurangi. Tingkat keuntungan peternak akan semakin tinggi apabila mereka meramu pakan sendiri dengan membeli tepung ikan, jagung giling, bungkil, dedak, tepung tulang, tepung darah dll.

INDUSTRI KELAPA TERPADU

Mesin-mesin pengolah sabut kelapa yang dewasa ini bertebaran di beberapa tempat di Jawa, banyak yang menganggur menjadi besi tua. Seandainya masih ada yang beroperasi, maka margin yang diperolehnya sangat kecil. Tidak seperti yang pernah dibayangkan oleh investornya. Tidak seperti yang dijanjikan oleh penjual mesin yang sekaligus akan menjadi penampung produk yang dihasilkannya. Sementara sabut (kulit luar kelapa) tetap banyak yang terbuang sia-sia. Sentra kelapa di Jawa, memang terletak di kawasan yang biasanya terpencil dan sarana transportasinya tidak terlalu baik, atau malahan tidak ada sama sekali. Beda dengan sabut yang masih tersia-siakan,  tempurung kelapanya tidak pernah terbuang. Selalu ada yang menampungnya. Baik dalam bentuk utuh, hancur maupun sudah diproses menjadi arang. Daging buah kelapanya sendiri selalu termanfaatkan, terutama untuk dipasarkan segar.
Kelapa (Cocos nucifera) adalah tumbuhan tropis penghasil lemak nabati. Tetapi setelah industri CPO (Crude Palm Oil) dari sawit berkembang, pamor kelapa surut dengan drastis. Sebab sawit lebih unggul sebagai penghasil minyak. Hampir semua tumbuhan penghasil minyak seperti kacang tanah, bunga matahari, jagung dll. termasuk kelapa, sulit bersaing dengan sawit. Tetapi kelapa memiliki keunggulan lain. Tumbuhan ini bisa menghasilkan gula (palm sugar), arang tempurung, serat sabut dan gabus (coco dush), serta kayu kelapa yang merupakan bahan meubel bernilai tinggi. Semua itu, secara bersama-sama merupakan kelebihan dari agroindustri kelapa. Hingga merancang investasi untuk komoditas ini, tidak bisa dilakukan dengan sepotong-sepotong. Misalnya hanya dengan investasi mesin pengolah sabut, tetapi tanpa memperhatikan produk-produk lainnya. Bahkan dalam industri pengolahan sabut pun, ada karakteristik yang berbeda antara di Jawa dan luar Jawa.
Di Jawa, merancang industri sabut kelapa harus dilakukan secara sistematis dengan mesin-mesin murah. Mesin-mesin canggih dengan nilai di atas Rp 1 milyar, tidak cocok untuk digunakan dalam pengolahan sabut di Jawa. Yang cocok justru mesin-mesin kecil dengan nilai Rp 50.000.000,- Tetapi jumlah mesin seperti ini harus banyak. Di satu kabupaten sentra kelapa, bisa dikembangkan sekitar 15 sampai 20 mesin yang disebar pada 15 sampai 20 titik. Mesin-mesin demikian hanya bisa memecah sabut dan memisahkan serat dengan gabusnya. Serat yang dihasilkannya merupakan "serat campuran". Nilai serat campuran ini masih rendah. Untuk bisa memenuhi permintaan ekspor, serat campuran  ini perlu diproses lagi dengan mesin yang lebih canggih hingga menjadi serat lurus lembut yang nilainya paling tinggi, serat lurus kasar dan serat kusut. Serat kusut yang merupakan "limbah" ini dipres hingga pengangkutannya tidak makan tempat. Tiga macam serat sabut ini semuanya punya nilai komersial sendiri-sendiri.
Hampir semua kabupaten di bagian selatan pulau Jawa ditumbuhi kelapa. Meskipun harga kelapa jatuh sampai di bawah Rp 500,- per butir di tingkat petani, sebenarnya komoditas ini tidak pernah tidak terpasarkan. Karena "tradisi" menu Indonesia sarat dengan santan maupun kelapa parut. Yang pasti terbuang adalah sabutnya. Hingga potensi industri pengolahan sabut di pulau Jawa cukup baik. Untuk itu diperlukan sebuah jaringan kerjasama. Satu investor besar bisa saja menangani satu kabupaten. Tetapi dia harus mau repot untuk menangani 15 sampai 20 titik dengan mesin-mesin kecil, sementara gudang dengan mesin induknya cukup satu di tempat yang strategis. Kalau investor besar terlalu bernafsu dan melakukan investasi dengan mesin canggih, maka jatuhnya menjadi tidak efisien. Sebaliknya investor kecil yang hanya punya satu dua mesin juga akan kerepotan dalam memasarkan produknya.
Bisa juga pemda mengorganisir 20 investor kecil-kecil untuk menangani 20 titik, kemudian satu investor menengah menangani finishingnya sekaligus melakukan ekspor. Hanya dengan cara demikianlah sabut di pulau Jawa dapat termanfaatkan. Sebab tanaman kelapa di Jawa tidak terkonsentrasi di satu tempat dalam hamparan luas dengan populasi tanaman banyak. Di luar Jawa  mudah ditemukan kawasan yang padat tanaman  kelapanya, dengan populasi yang memungkinkan untuk penanganan sabut menggunakan mesin canggih. Tetapi, kalau kondisi tanaman kelapanya mirip dengan di pulau Jawa, maka penanganan sabutnya harus menggunakan pola 20 mesin kecil di 20 titik dengan satu mesin besar sebagai finishingnya. Pola kerja ini menjadi faktor yang paling menentukan dalam agroindustri pengolahan sabut dengan bahan baku dari rakyat.
Sebaliknya, tempurung di Jawa sudah tidak bisa diharapkan untuk ditangani oleh pendatang baru. Dari  pelosok Banyuwangi sampai ke ujung selatan Pandeglang sudah ada pedagang pengumpul tempurung. Sebab pulau Jawa memang telah kekurangan arang tempurung. Indikasinya, nilai  arang tempurung yang diekspor selalu di bawah Rp 1.000,- (di luar kemasan). Tetapi harga arang tempurung di Jawa (juga curah), sudah mencapai Rp 2.000,- Hingga eksportir arang tempurung, baik sebagai bahan bakar maupun arang aktif, selalu mengandalkan bahan baku dari luar Jawa.  Industri arang tempurung di luar Jawa, selalu berada di sentra-sentra produsen kopra. Sebab kalau petani menjual kelapanya dalam bentuk butiran untu konsumsi segar, maka yang tertinggal di kebun hanyalah sabutnya. Limbah tempurungnya akan terbawa ke pasar-pasar di kota dan pasti sudah ada yang menampungnya.
Hasil dari kelapa yang masih belum tergarap dengan baik adalah gulanya. Permintaan palm sugar (dalam bentuk gula semut = hablur) dari MEE sebenarnya cukup baik. Aren (enau) meskipun produktifitasnya tinggi, namun populasi tanamannya sudah kritis. Demikian pula dengan lontar (siwalan). Hingga satu-satunya sumber palm sugar  yang bisa diandalkan hanyalah tinggal kelapa. Ada pertanyaan, mengapa kebun-kebun kelapa besar, baik PTPN (PT Perkebunan Nusantara) maupun swastanya tidak terlalu tertarik untuk menangani palm sugar? Industri ini sangat "padat karya". Jumlah tenaga profesional untuk menyadap nira kelapa sangat terbatas. Itu pun hanya terkonsentrasi di Ciamis, Purwokerto, Cilacap, Gombong, Kebumen, terus ke timur sampai Kulon Progo. Konsentrasi  paling banyak ada di Wangon, Purwokerto.
Deperindag memang telah sangat serius menangani industri palm sugar. Tetapi yang dilakukannya adalah memberikan training proses pengolahan. Bukan penyadapan. Padahal yang paling menjadi masalah justru proses penyadapannya. Mestinya proses penyadapan kelapa juga memperhatikan faktor keamanan. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi panjat yang banyak dikuasai oleh para mahasiswa pecinta alam. Hingga efektifitas serta efisiensi bisa diperoleh. Kebun-kebun kelapa yang relatif masih muda lebih cocok untuk menghasilkan palm sugar. Sebab tanamannya masih pendek dan hasil kelapanya juga belum optimal. Penanganan industri palm sugar ini selalu masih sepotong-sepotong hingga tidak pernah ada hasil yang bisa diandalkan untuk bertahan lama. Padahal trend pasar palm sugar di MEE dan negara-negara maju lainnya cenderung semakin besar.
Kelapa muda pun sebenarnya punya prospek yang baik. Thailand dan Filipina adalah dua negara yang sudah sangat intensif dalam  memanfaatkan kegemaran masyarakat akan air kelapa. Thailand mengembangkan "kelapa pandan" yang berukuran sedang, berwarna hijau dan airnya beraroma hrum daun pandan. Sementara Filipina lebih memfokuskan diri pada kelapa kopyornya. Kelapa pandan sudah dicoba ditanam di beberapa tempat di Indonesia dan berhasil baik. Tetapi belum pernah ada upaya serius untuk mengembangkannya. Mestinya kabupaten-kabupaten di Pantura agak serius dalam memanfaatkan potensi ini. Kelapa kopyor sudah berkembang cukup baik antara lain di Pati. Tetapi pengusahaannya secara komersial belum dilakukan optimal. Berbeda dengan kelapa kopyor filipina yang merupakan kelapa dalam,  kelapa kopyor yang dikembangkan di Pati adalah kelapa genjah (kelapa puyuh). Hingga umur panennya hanya 3 sampai 4 tahun setelah  tanam.
Agroindustri kelapa terpadu sebenarnya sudah ada contohnya. Pulau Sambu di Riau adalah sebuah agroindustri kelapa terpadu yang relatif bisa dijadikan panduan. Dengan hasil sekitar 5.000.000 butir per hari, Pulau Sambu memproduksi santan segar, santan kering, kelapa parut, arang tempurung dan sabut olahan. Industri minyak kelapa pun sebenarnya masih layak untuk digarap. Sebab harga minyak kelapa di pasaran tetap lebih tinggi dibanding minyak sawit. Tetapi, kita tidak bisa hanya mengandalkan minyaknya untuk membangun sebuah agroindustri kelapa. Sebab keuntungan terbesar saat ini justru berasal dari "limbahnya". Baik dari industri sabutnya maupun tempurungnya. Namun juga tidak mungkin sebuah industri besar hanya mengandalkan bahan pasokan dari rakyat. Hingga untuk membangun sebuah agroindustri kelapa,  diperlukan sebuah  perencanan yang matang untuk membuka kebun sendiri.
Dalam agroindustri sawit, peremajaan adalah cost. Sebab batang sawit sama sekali tidak punya nilai komersial. Batang kelapa lain. Kelapa-kelapa rakyat yang tua, kayunya bermutu sangat baik. Ya kekuatannya, ya teksturnya. Kecuali kelapa hibrida yang mutu kayunya memang tidak sebaik kelapa rakyat. Namun kayu kelapa hibrida tetap masih memiliki nilai komersial yang lumayan dibanding kayu sawit yang nilainya nol. Karena kayunya pun masih bernilai komersial,  sebenarnya agroindustri kelapa tetap bukan kartu mati. Tidak seperti tahun-tahun 80an ketika sentra-sentra kopra, misalnya di pulau Selayar menjadi "kota mati" karena tersaingi oleh CPO. Kalau Indonesia tidak bisa hidup dari kelapanya, buat apa lagu "rayuan pulau kelapa" dinyanyikan? Mestinya kita harus mencontoh Thailand dan Filipina yang hanya dari kelapa pandan dan kopyornya pun, rakyatnya bisa makmur. Minimal lebih makmur dari rakyat di sentra-sentra kelapa di Indonesia. (FR)+++